Rut Betten court dan Suparno (1996, hal. 18)
” Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur kognitif yang diperlukan untuk pengetahuan ”.
Para konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lorsbart dan Tobbin dalam Suparno (1996, hal. 19) bahwa, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) kepada orang lain (siswa). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dan menyesuaikan dengan pegalaman-pengalaman mereka.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan seseorang tidak sekali jadi, tetapi melalui proses perkembangan yang terus menerus. Konstruktivisme berbeda dengan aliran-aliran pendidikan lainnya. Konstruktivisme menurut Kosnot dalam Pannen (2001, hal. 18) lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif siswa. Bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya secara aktif, meskipun mereka berumur tua, pengetahuannya tidak akan berkembang. Pada pendekatan pembelajaran ini guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator dan mediator kepada siswa untuk terus aktif selama pembelajaran.
Menurut Driver dan Oldhom dalam Suparno (1996, hal. 69) ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme adalah :
Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk menkonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman.
Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan satu percobaan atau persoalan yang baru.
Penggunaan ide dalam situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualian.
Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya dengan menambahkan suatu keterangan atau dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.
1) fase identifikasi indicator dari kurikulum oleh guru,
2) fase mengakses pengetahuan terdahulu yang dimiliki siswa tujuannya untuk mengecek apa saja yang sudah diketahui para siswa,
3) fase eksplorasi, tujuannya untuk mengecek apakah pengetahuan yang dimiliki siswa benar, separuh benar, atau salah,
4) fase penjelasan, dalam fase ini guru memberikan kesempatan agar siswa menghubungkan pemahaman baru dengan konsep terdahulu,
5) fase elaborasi, dalam fase ini guru memberikan kesempatan agar para siswa guru memberikan kesempatan agar para siswa menerapkan pemahaman baru pada konteks yang berbeda, dan
6) Fase evaluasi, adalah fase untuk menilai perubahan dalam situasi baru.
Dalam menggunakan daur belajar konstruktivisme ini diharapkan guru dapat menjalankan peranannya sebagai fasilitator dan mediator.
” Pengetahuan selalu merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif dari kenyataan yang terjadi melalui serangkaian aktivitas seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur kognitif yang diperlukan untuk pengetahuan ”.
Para konstruktivisme percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Lorsbart dan Tobbin dalam Suparno (1996, hal. 19) bahwa, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) kepada orang lain (siswa). Murid sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dan menyesuaikan dengan pegalaman-pengalaman mereka.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan bahwa pengetahuan seseorang tidak sekali jadi, tetapi melalui proses perkembangan yang terus menerus. Konstruktivisme berbeda dengan aliran-aliran pendidikan lainnya. Konstruktivisme menurut Kosnot dalam Pannen (2001, hal. 18) lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif siswa. Bila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya secara aktif, meskipun mereka berumur tua, pengetahuannya tidak akan berkembang. Pada pendekatan pembelajaran ini guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator dan mediator kepada siswa untuk terus aktif selama pembelajaran.
Menurut Driver dan Oldhom dalam Suparno (1996, hal. 69) ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme adalah :
- Orientasi, murid diberi untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topik
- Elicitasi, murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, gambar dan lain-lain.
- Rekonstruksi Ide, yaitu terdiri dari :
Klarifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seseorang dapat terangsang untuk menkonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok.
Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan teman-teman.
Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan satu percobaan atau persoalan yang baru.
Penggunaan ide dalam situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualian.
Review, bagaimana ide itu berubah. Dapat terjadi bahwa dalam aplikasi pengetahuannya pada situasi yang dihadapi sehari-hari, seseorang perlu merevisi gagasannya dengan menambahkan suatu keterangan atau dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap.
Dasar Belajar Konstruktivisme
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam model pembelajaran konstruktivisme adalah daur belajar konstruktivisme. Daur belajar konstruktivisme inik dicontoh oleh Jonshon (Iskandar : 2001). Menurut ”prinsiple of constructivis learning” ada 6 fase Daur belajar yaitu :1) fase identifikasi indicator dari kurikulum oleh guru,
2) fase mengakses pengetahuan terdahulu yang dimiliki siswa tujuannya untuk mengecek apa saja yang sudah diketahui para siswa,
3) fase eksplorasi, tujuannya untuk mengecek apakah pengetahuan yang dimiliki siswa benar, separuh benar, atau salah,
4) fase penjelasan, dalam fase ini guru memberikan kesempatan agar siswa menghubungkan pemahaman baru dengan konsep terdahulu,
5) fase elaborasi, dalam fase ini guru memberikan kesempatan agar para siswa guru memberikan kesempatan agar para siswa menerapkan pemahaman baru pada konteks yang berbeda, dan
6) Fase evaluasi, adalah fase untuk menilai perubahan dalam situasi baru.
Dalam menggunakan daur belajar konstruktivisme ini diharapkan guru dapat menjalankan peranannya sebagai fasilitator dan mediator.
Share Yuk
No comments:
Post a Comment